“Pendidikan bukanlah segala-galanya, namun segala-galanya berawal dari pendidikan” pernah saya dengar peribahasa seperti itu. Kita sepakat, di dalam sebuah jejaring sistem pendidikan yang begitu kompleks unsur guru tidak dapat dipungkiri keeksistensiannya, guru berperan sangat sentral di sana.
Guru lah yang menjadi “distributor” kurikulum yang sudah diberlakukan untuk kemudian ditransferkan kepada anak didiknya. Bayangkan betapa sulitnya meramu, meracik bumbu-bumbu materi-materi ajar menjadi santapan lezat bagi anak didiknya, yang ke-semuanya harus suka, dan semua harus memakannya dengan lahap. Guru dituntut menjadikan sebuah pembelajaran berjalan menyenangkan, walau kadang masalah di rumah banyak sekali ia tak hiraukan hal itu, ia pakai ‘topeng gurunya’ ia fokuskan pikirannya pagi itu pada bibit-bibit bangsa di depannya. Ketika upacara berlangsung pada saat petugas membacakan pembukaan UUD 45 alenia 3, jelas kita dengarkan bersama “….mencerdaskan kehidupan bangsa”, nahh… tugas siapa ini? Sebagian besar dari kita pasti menjawab, “itu tugas guru”.
Semakin berat tugas guru. Saya mendefinisikan kata ‘mencerdaskan’ di sini bukan hanya cerdas secara intelektual semata (tanpa bermaksud mengkesampingkan teori Multiple Intelegence), cerdas yang saya maksud adalah cerdas intelektual, cerdas emosional dan cerdas spiritual. Maka dari itu tugas guru bukan saja mengajarkan materi, tapi ia juga harus membentuk karakter anak didik yang santun dan berbudi pekerti dan menanamkan cita-cita, mimpi-mimpi bagi anak didiknya.
Fantastis, menjadi guru yang dulu hanya sebagian kecil orang yang mau sekarang beribu-ribu orang yang ingin mendedikasikan dirinya sebagai seorang guru, entah tulus dari hati ataukan hanya demi mencari pekerjaan. Kalau memang tulus dari hati diniati dengan nilai pengabdian yang tinggi saya yakin wajah pendidikan akan berubah lebih baik, tetapi kalau menjadi guru hanya sekedar mencari pekerjaan, ini yang berbahaya. Karena “Guru yang baik meneladani dan melayani”. Guru harus siap dalam berbagai keadaan, pelajari teorinya lalu praktekkan. Misalkan ada 20 anak di dalam kelas, maka ada 20 perbedaan karakter di sana, ada 20 permasalahan di sana dan itu ia hadapi setiap hari. Begitu besar pengabdianmu.
Teringat sebuah lagu yang pernah dipopulerkan oleh Bang Iwan Fals sekitar 30 tahun yang lalu.
“tapi mengapa gaji guru Oemar Bakrie seperti dikebiri”
Menjadi guru identik dengan bergaji sedikit waktu itu.
Aahhhh itu lagu lama… Sekarang kesejahteraan guru sudah saatnya meningkat, tunjangan ini, tunjangan itu harus diberikan, sampai-sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan 2 x gaji pokok bagi guru-guru yang telah lulus sertifikasi. Tidak lagi kita dengar guru dengan sampingan tukang ojek, guru dengan sampingan pemulung, guru dengan sampingan pembuat layang-layang, guru dengan sampingan tukang cukur, guru dengan sampingan ini itu yang memprihatinkan… STOP!!!
Menjadi guru adalah tugas mulia, ia yang menginsprasi, ia yang memotivasi, sudah saatnya ia tidak memikirkan asap dapurnya, isi perutnya, tetapi ia fokuskan pikirannya itu untuk anak-anak didiknya. Jadilah guru yang berkualitas, yang belajar setiap hari, yang menginspirasi setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar